Hikayat Hang Tuah
( Hang Tuah
Diutus ke Majapahit )
Raja Melaka mengutus Hang Tuah
(Laksamana) mempersembahkan surat dan bingkisan ke hadapan raja Majapahit,
mertua baginda.
Maka Laksamana pun menjunjung duli. Maka
dianugerahi persalin dan emas sepuluh kati dan kain baju dua peti. Maka,
Laksamana pun bermohonlah kepada Bendahara dan Temenggung, lalu berjalan keluar
diiringkan oleh Hang Jebat dan Kesturi serta mengirimkan surat dan bingkisan,
lalu turun ke perahu. Setelah sudah datang ke perahu, maka surat dan bingkisan
itu pun disambut oleh Laksamana, lalu naik ke atas “Mendam Berahi”. Maka
Laksamana pun berlayar.
Beberapa lamanya berlayar itu, maka
sampailah ke Tuban. Maka Rangga dan Barit seketika pun berjalan naik ke
Majapahit. Beberapa lamanya maka sampailah ke Majapahit. Maka dipersembahkan
Patih Gajah Mada kepada Batara Majapahit, “Ya, Tuanku, utusan daripada anakanda
Ratu Melaka datang bersamasama dengan Rangga dan Barit Ketika; Laksamana
panglimanya.”
Setelah Sri Batara mendengar sembah
Patih Gajah Mada demikian itu, maka titah Sri Batara, “Jika demikian, segeralah
Patih berlengkap.”
Maka sembah Patih Gajah Mada, “Ya
Tuanku, adapun patik dengar Laksamana itu terlalu sekali beraninya, tiada
berlawan pada tanah Melayu itu. Jikalau sekiranya dapat patik hendak cobakan
beraninya itu.”
Maka titah Sri Batara, “Mana yang berkenan
pada Patih, kerjakanlah!”
Maka Patih pun menyembah lalu keluar
mengerahkan segala pegawai dan priyayi akan menyambut surat itu. Setelah sudah
lengkap, maka pergilah Patih dengan segala bunyi-bunyian.
Hatta maka sampailah ke Tuban. Maka
Laksamana dan Hang Jebat dan Hang Kesturi pun berlengkap memakai pakaian yang
indah-indah. Maka surat dan bingkisan itu pun dinaikkan oleh Laksamana ke atas
gajah. Maka Laksamana dan Hang Jebat dan Hang Kesturi pun naik kuda. Maka
Rangga dan Barit Ketika pun naik kuda mengiringkan Laksmana. Maka di hadapan
Laksamana orang berjalan memikul pedang berikat empat bilah berhulukan emas dan
tumbak pengawinanbersampakemas empat puluh bilah dan lembing bersampakkan emas
bertanam pudi yang merah empat puluh rangkap. Maka segala bunyi-bunyian pun
dipalu orang terlalu ramai. Maka surat dan bingkisan itu pun diarak oranglah ke
Majapahit.
Hatta beberapa lamanya berjalan itu,
maka sampailah. Maka Laksamana dan Hang Jebat dan Hang Kesturi pun turun dari
atas kuda, berjalan di atas gajah. Maka Rangga pun berjalan serta berkata,
“Mengapa maka Laksamana turun dari atas kuda itu? Baik Laksamana naik kuda!”
Maka kata Laksamana, “Hai Rangga, adapun
adat segala hulubalang Melayu itu, apabila nama tuannya dibawa pada sebuah
negeri itu, maka hendaklah sangat-sangat dihormatkan dan takutkan nama tuannya
itu. Jikalau sesuatu peri surat nama tuannya itu, sehingga mati sudahlah; yang
memberi aib itu sekali-kali tiada ia mau, dengan karena negeri Majapahit itu
negeri besar.”
Setelah Rangga mendengar kata Laksamana
demikian itu, maka ia pun diam, lalu turun berjalan sama-sama dengan Laksamana.
Maka surat dan bingkisan itu pun diarak masuk ke dalam kota, terlalu ramai
orang melihat terlalu penuh sesak sepanjang jalan dan pasar. Maka kata Patih
Gajah Mada pada penjurit dua ratus itu, “Hai, kamu sekalian, pergilah kamu
mengamuk dihadapan utusan itu, tetapi engkau mengamuk itu jangan
bersungguh-sungguh, sekadar coba kamu beraninya. Jika ia lari, gulung olehmu
sekali. Jika ia bertahan, kamu sekalian menyimpang, tetapi barang orang kita,
mana yang terlintang bunuh olehmu sekali, supaya main kita jangan diketahui.”
Maka penjurit dua ratus itu pun
menyembah, lalu pergi ke tengah pasar. Waktu itu sedang ramai orang di pasar,
melihat orang mengarak surat itu. Maka penjurit itu pun berlari-lari sambil menghunus
kerisnya, lalu mengamuk di tengah pasar itu, barang yang terlintang dibunuhnya.
Maka orang di pasar itu gempar, berlari-lari kesana-kemari, tiada berketahuan.
Maka penjurit dua ratus itu pun datanglah ke hadapan Laksamana; dan anak bayi priayi
di atas kuda itu pun terkejut melihat orang mengamuk itu terlalu banyak, tiada
terkembali lagi. Maka barang mana yang ditempuhnya, habis pecah. Maka segala
pegawai itu pun habis lari beterjunan dari atas kudanya, lalu berlari masuk
kampung orang. Maka segala orang yang memalu bunyi-bunyian itu pun terkejutlah,
habis lari naik ke atas kedai, ada yang lari ke belakang Laksamana. Setelah
dilihat oleh Laksamana orang gempar itu tiada berketahuan lakunya, maka segala
orang yang di hadapan Laksamana itu pun habis lari. Maka prajurit yang dua
ratus itu pun kelihatanlah. Dilihat orang yang mengamuk itu terlalu banyak, seperti
ribut datangnya, tiada berkeputusan. Maka Laksamana pun tersenyum-senyum seraya
memegang hulu keris panjangnya itu. Maka Hang Jebar, Hang Kesturi pun
tersenyum-senyum, seraya memegang hulu kerisnya, berjalan dari kiri kanan
Laksamana.Maka Rangga dan Barit Ketika pun terkejut, disangkanya orang yang
mengamuk itu bersungguh-sungguh. Maka Rangga pun segera menghunus kerisnya,
seraya berkata, “Hai Laksamana, ingat-ingat, karena orang yang mengamuk itu
terlalu banyak.”
Maka sahut Laksamana seraya memengkis,
katanya,”Cih, mengapa pula begitu, bukan orangnya yang hendak digertak-gertak
itu.”
Maka Laksamana dan Hang Jebat, Hang
Kesturi pun berjalanlah seorang orang Melayu pun tiada yang undur dan tiada
bergerak. Maka kata Laksamana, “Hai segala tuan-tuan sekalian, seorang pun
jangan kamu undur dan bergerak. Jika kamu undur, sekarang ini juga kupenggal
leher kamu!”
Maka dilihat oleh Barit Ketika, orang
mengamuk banyak datang seperti belalang itu, maka Barit Ketika pun segera undur
ke bela-kang gajah itu. Maka prajurit yang dua ratus itu pun berbagi tiga, menyimpang
ke kanan dan ke kiri dan ke hadapan Laksamana mengamuk itu, ke belakang
Laksamana. Maka Laksamana pun berjalan juga di hadapan gajah itu. Maka prajurit
itu pun berbalik pula dari belakang Laksamana. Maka Barit Ketika pun lari ke hadapan
berdiri di belakang Laksamana itu. Maka, Laksamana pun tersenyum-senyum seraya
berkata, “Cih, mengapa begitu, bukan orangnya yang hendak digertak gerantang
itu.”
Maka, Laksamana dan Hang Jebat, Hang
Kesturi pun berjalan juga, dengan segala orangnya dan tiada diindahkannya orang
mengamuk itu. Maka Rangga, dan Barit Ketika pun heran melihat berani Laksamana
dan segala Melayu-melayu itu, setelah dilihat oleh penjurit dua ratus itu, Laksamana
dan segala orangnya tiada bergerak dan tiada diindahkannya lawan itu, maka
prajurit itu pun mengamuk pula ke belakang Laksamana. Seketika lagi datang pula
prajurit itu mengamuk ke hadapan Laksamana, barang yang terlintang dibunuhnya
dengan tempik soraknya, katanya, “Bunuhlah akan segala Melayu itu,” seraya
mengusir ke sana kemari barang yang terlintang dibunuhnya. Maka prajurit dua
ratus itu pun bersungguh-sungguh rupanya.
Maka, sahut Laksamana, “Jika sebanyak
ini prajurit Majapahit, tiada, kuindahkan; tambahkan sebanyak ini lagi, pun
tiada aku takut dan tiada aku indahkan. Jikalau luka barang seorang saja akan Melayu
ini, maka negeri Majapahit ini pun habislah aku binasakan, serta Patih Gajah
Mada pun aku bunuh,” serta ditendangnya bumi tiga kali. Maka bumi pun bergerak-gerak.
Maka, Laksamana pun memengkis pula, katanya “Cih, tahanlah bekas tanganku
baik-baik.”
Maka, prajurit itu pun sekonyong-konyong
lari, tiada berketahuan perginya. Maka, surat dan bingkisan itu pun sampai-lah ke
peseban. Maka surat itu pun disambut oleh Raden Aria, lalu dibacanya di hadapan
Sri Batara. Maka, Laksamana dan Hang Jebat, Hang Kesturi pun naik ke peseban.
Maka segala bingkisan itu pun disambut oranglah. Maka, titah Sri Batara, “Hai
Laksamana, kita pun hendak mengutus ke Melaka, menyuruh menyambut anak kita Ratu
Malaka, karena kita pun terlalu amat rindu dendam akan anak kita. Di dalam pada
itu pun yang kita harap akan membawa anak kita kedua itu ke Majapahit ini
hanyalah Laksamana.”
Maka, sembah Laksamana, “Ya Tuanku,
benarlah seperti titah andika Batara itu.”
Maka Batara pun memberi persalin akan
Laksamana dan Hang Jebat, Hang Kesturi dengan selengkap pakaian. Maka titah Sri
Batara, “Hai Laksamana, duduklah hampir kampong Patih Gajah Mada.”
Maka sembah Laksamana, “Daulat tuanku,
mana titah patik junjung.” Maka Sri Batara pun berangkat masuk. Maka Patih
Gajah Mada, dan Laksamana pun bermohonlah, lalu keluar kembali ke rumahnya.
Maka akan Laksamana pun diberi tempat oleh Patih Gajah Mada hampir kampungnya.
Sumber:
Bunga Rampai dari Hikayat Lama karya Sanusi
Pane,
Hal. 105-109 dan 138
Tidak ada komentar:
Posting Komentar